Selasa, 17 Maret 2009

Resensi Novel Sejarah

Resume Novel
Sumber Sejarah Bima – NTB

Setelah pensiun dari pegawai negeri Sipil Bulog tahun 2000, setahun sebelumnya sudah meminta pensiun dengan harapan dapat menyusun dan menulis kisah-kisah atau cerita hidup dari generasi terdahulu.
Generasi buyut, kakek-nenek hingga ayah-bunda sangat banyak meninggalkan kenangan dalam cerita lisan sebagai cerita tidur. Rupanya ini bukan saja berada pada mereka tetapi tiap sahabat, teman dan saudara mereka menuturkan sama juga dalam cerita atau kisah. Kalangan masyarakat banyak atau para pujangga katakan cerita rakyat dan kebetulan belum pernah ditulis oleh siapapun dan hanya berada di Dana Mbojo-Bima, Nusa Tengara Barat.
Penulis sendiri telah kumpulkan lama didalam otak computer berbentuk resume atau synopsis cerita atau kisah generasi lalu. Penulispun telah melakukan kajian dan penelitian pada situs-situs tempat kejadian dan memadukan dengan sumber-sumber bacaan yang dimiliki sehingga dengan ucapan Bismillah, maka telah dilahirkan draf-draf Novel antara lain dibawah ini :

FAJAR MERAH DIAMBANG BATAS

Sebuah kisah perjuangan terjadi pada tahun 1941-1946, perjuangan mati dan hidup pemuda rakyat Bima (Mbojo) dalam membela dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Proklamasi 17 Agustus 1945 hasil Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Kisah perjuangan rakyat Bima (Mbojo), NTB ini, tidak kalah patriotik, heroik dan dinamis dilakukan oleh masyarakat seperti Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lain dalam era perjuangan kemerdekaan 1945–1950, belum ada yang menuliskannya.
Tokoh-tokoh pelaku langsung pada masa itu, yang telah disabah dan dikunjungi penulis lalu mendengar penuturanya seperti antara lain :
1. Almarhum, Muhammad Salahuddin, mantan Sultan Bima
2. Almarhum, Putra Abdul Kahir bin Muhammad Salahudin, mantan anggota MPRS-DPR R.I
3. Almarhum, Abdul Madjid Yoesry, mantan Wakil Komandan API/TKR Jeneli Sape/Kesultanan Bima-Dompu, ayahanda penulis
4. Almarhumah, Siti Mariam binti Zakariah, ibunda penulis
5. Almarhum, H. Muchtar Zakariah, SH mantan Walikota DKI
6. Almarhum, H.M.Saleh Abdullah, mantan Kepala P dan K Pemda TK. II Bima.
7. Almarhum, Mustamin Abdurrahman, mantan Komandan API/TKR Jeneli Sape/Kesultanan Bima-Dompu
8. H. A. Bakar Ismail, Ketua LVRI Markas Cabang Bima
9. H. Lalu Muhiddin, mantan Ketua LVRI Markas Cabang Bima
10. H. M. Taher Yusuf, mantan wakil pelatih Laskar API/TKR Jeneli Sape/Kesultanan Bima-Dompu dan masih banyak lagi tidak disebutkan satu persatu.

Dasar dan latar belakang kisah perjungan mati dan hidup pemuda dan rakyat Dana Mbojo, Kesultanan Bima-Dompu :
1. Pemboman pasukan Sekutu pada pusat kota Kesultanan Bima-Dompu sebelum bom Atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki/Jepang pada tanggal 06 dan 09 Agustus 1945.
2. Pemboman ini telah menimbulkan korban jiwa, harta benda menghancurkan seluruh kehidupan masyarakat rakyat Sipil Mbojo, Kesultanan Bima-Dompu. Sarana dan prasarana kehidupan, pasar, toko-toko, terminal dokar, jalan raya, perumahan penduduk, Masjid Sultan Bima. Rakyat Sipil Mbojo, Kesultanan Bima-Dompu terbunuh ribuan. Rakyat Sipil Mbojo (Bima) tidak pernah mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan, tetapi mengapa harus mengalami perbuatan biadab dan tidak berperikemanusiaan?. Sekutu berslogan penyelamat umat manusia dalam perang dunia ke II, tetapi rakyat Kesultanan Bima-Dompu yang dibunuh dan dianiaya dengan kejam. Dua hari, setelah berkumandangnya pembacaan teks Proklamasi, 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta, digedung Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Mantan Joumpo berganti nama Polisi Kelas II, Dae Mejo alias Abdul Madjid Yoesri dan Kusnen, pada tanggal 19 Agustus 1945 oleh Komandan Marinir Angkatan Laut Dai Nipon, tuan Yamamoto meminta tolong dan memerintahkan Joumpo Dae Mejo agar disampaikan pesannya pada Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin. Untuk mengangkat kembali senjata dan peluru, kemungkinan pula terdapat bom-bom yang telah dibuang serdadu Dai Nipon dilaut Teluk Sape. Sultan Bima dan seluruh personil Joumpo bersama rakyat dengan senjata dan peluru itu harus melakukan perlawanan bila Sekutu yang menghantar Nica Belanda mendarat di Bima, Kesultanan Bima-Dompu. Dipesankan pula pada Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin bersama pemuda dan rakyatnya agar dapat melucuti dan merampas senjata dan amunisi pada tangan serdadu Dai Nipon yang belum pulang.
3. Tanggal 20 Agustus 1945, pimpinan Joumpo, Dai Nipon tuan I Shi I Sang menyerahkan kepemimpinan Joumpo pada Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin dan dipercayakan pada Kombes. Polisi, tuan Sudirman orang Jawa. Lalu pada hari itu juga, Dae Mejo alias Abdul Madjid Yoesry diperintah dan dipindahkan ke Jeneli Sape/Kesultanan Bima-Dompu untuk melakukan penelitian dan mencari informasi tentang senjata dan peluru atau bom dibuang serdadu Dai Nipon. Upaya dan usaha berhasil baik dan benar serdadu Dai Nipon membuang senjata dan amunisi didalam laut Teluk Sape, berjarak 100-150 meter dari pelabuhan Kapal Ferry penyeberangan ke NTT sekarang, dalam kedalaman 100-120 meter. Ironisnya, justru Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin memerintah kembali Joumpo/Polisi Kelas II, Dae Mejo segera mengangkat dari dalam laut itu dengan sedikit biaya diberikan oleh Sri Sultan Bima dari kocek pribadi.
4. Dorongan dan motivasi penemuan dan diangkat kembali senjata dan peluru buangan serdadu Dai Nipon sebanyak 125 pucuk Karaben, 5 pucuk senjata otomatis dan peluru satu peti berjumlah 10.000 butir. Dan lalu kedatangan para pelajar dari Yogyakarta, Malang dan Singaraja seperti Muchtar Zakariah, M. Saleh Sulaiman, Ishaka Abdullah dan lain, lalu temuan pemuda-pemuda dan rakyat Mbojo, Kesultanan Bima-Dompu senjata dan amunisi. Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin menitahkan putranya, Putra Abdul Kahir segera membentuk sebuah Komite Nasional Indonesia (KNI) Cabang Kesultanan Bima-Dompu. KNI Distrik Kejenelian (Kecamatan) diseluruh Kesultanan Bima-Dompu terbentuk maka dibentuk pula Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian diganti dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dan di Sekolah Naggio Gakko dirubah menjadi Sekolah Pertanian Menegah – Lewirato dibentuk Tentara Pelajar, Putra Abdul Kahir dipercayakan sebagai Panglima API/TKR dan Tentara Pelajar (TP).
5. Pertengahan bulan September 1945 Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin mengirim utusannya ke Singaraja-Bali dipercayakan pada Moh. Idris Djafar dan Muhammad Amin. Pengiriman utusan ini, dimaksudkan untuk mengambil bingkisan titipan Bung Karno sepulang dari Delta Dallat, Vietnam, setelah bom Atom dijatuhkan di Nagasaki, Hiroshima-Jepang pada Gubernur Sunda Kecil. Bingkisan tersebut berisi lembaran bendera Merah-Putih penutup peti jenazah prajurit angkatan Udara Dai Nipon bernama Ahmad Baco yang gugur dalam perang di laut China Selatan. Seorang Prajurit Dai Nipon, keturunan asli Bima (Dana Mbojo) telah menerbangkan pesawat angkatan Udara Dai Nipon. Prajurit, Ahmad Baco melakukan Jibakutai dengan menerbangkan pesawatnya masuk cerobong asap kapal induk Sekutu melumpuhkan kapal induk, dan yang bersangkutanpun gugur dimakamkan di Delta Dallat sebagai pahlawan Dai Nipon.
6. Awal bulan Oktober 1945, untusan Sri Sultan Bima, Moh. Idris Djafar dan Muhammad Amin menyerahkan bingkisan tersebut diatas dan lalu berselang beberapa hari, tepatnya pada tanggal 31 Oktober 1945 bendera Merah-Putih berkibar megah pada tiang bendera Istana Kesultanan Bima-Dompu dengan upacara besar disambut pemuda, rakyat Bima, walau dalam hal ini convoy pasukan serdadu Dai Nipon pulang melintasi jalan raya tempat dilaksanakan upacara. Convoi pasukan serdadu Dai Nipon yang berasal dari Flores, Sumba - NTT dipulangkan ke negerinya melalui pelabuhan Lape Lopok – Sumbawa sedangkan perlengkapan perang serdadu Dai Nipon diangkut Sekutu melalui pelabuhan Bandar Bima. Akibat pengibaran bendera Merah-Putih ini maka seluruh rakyat Bima, Kesultanan Bima-Dompu dari kota hingga pelosok desa pada rumah-rumah penduduk mengibarkan Merah-Putih.
7. Tepat pada tanggal 22 Nopember 1945 setelah 12 hari peristiwa Gubeng di Stasion Kereta Api, Surabaya tanggal 10 Nopember 1945 arek-arek Surabaya menghadang Sekutu, walau menggugurkan banyak rakyat Surabaya, namun telah pula menggugurkan Jenderal Malabi. Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin mengumumkan sebuah maklumatnya dihadapan Gelarang (Lurah) Jeneli (Camat) dan seluruh rakyatnya, rakyat Kesultanan Bima-Dompu antara lain mengatakan “Rakyat dan Kesultanan Bima-Dompu berada dan berdiri dibelakang Negara Kesatuan Republik Indonesia, pimpinan Bung Karno dan Bung Hatta. Pengakuan kedaulatan pertama yang dilakukan oleh seorang raja di Timur besar pada NKRI lebih dahulu dari raja-raja lain se-Nusantara.
Penulis Novel Sejarah, Fajar Merah Diambang Batas, jujur mengatakan selama kurun waktu 7 tahun, menghimpun tulisan ini dari para tokoh yang masih hidup dan lalu memulai menulis tulisan tangan hingga menjadi tulisan mesin ketik, kemudian menyewa penulisan computer. Draf tulisan ini pernah juga diserahkan pada Balai Putaka-Jakarta, Gramedia, Grassindo-Jakarta dan Pustaka & Penerbit Mahani Persada Tbk Mataram-NTB dengan harapan diterbitkan menjadi buku, rupanya Tuhan Yang Maha Esa belum memberikan kesempatan dan peluang dapat muncul diatas permukaan balantara daerah asal kisah dan apalagi Indonesia tercinta malahan dikembalikan.
Penulis tidak pernah putus asah dan pasrah, dimungkinkan penulis sendiri semasa usia lima tahun kurang 2 bulan yang selalu mendamping ayah/bunda sebagai Wakil Komandan Laskar pemuda API/TKR Distrik Sape, Kesultanan Bima-Dompu, seorang yang pemimpin perang yang melucuti senjata para serdadu Dai Nipon (Jepang) dikubu pertahananya di Oi Maci – Sape, Kesultanan Bima-Dompu, sekarang Kecamatan Sape – Kabupaten Bima, NTB.
Mereka begitu patuh, taat menjalankan perintah atasannya atau panutannya Sri Sultan Bima, Muhammad Salahuddin dan Putra Abdul Kahir di penjara oleh Nica-Belanda dan setelah bebas mereka harus menderita sepanjang hidupnya. Mereka tidak mengharap balas jasa atau pamrih dari tindakannya yang benar dan diridhohi Tuhan oleh karena kemerdekaan telah dicapai dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan telah tegak berdiri dengan Jaya Gemah Ripah Lo Jinawe.
Novel Sejarah, Fajar Merah Diambang Batas terbit pertama dan dicetak pada percetakan Sinar Baru, Bekasi – Jawa Barat sebanayak 1.000 Expl buku dan perbuku 303 halaman telah terjual habis oleh pemodal. Sedang pemodal sudah tidak bersedia melanjutkan, penulis sendiri menganggap ini sebagai publikasi awal untuk Daerah Bima.
Komplain dan komentar para pembaca yang ada hanya tetap menginginkan dan mengharapkan agar terus diperbanyak atau dicetak ulang dengan melengkapkan daftar-daftar pemuda dan rakyat, lokasi-lokasi tempat kejadian dan foto-foto peserta dalam kisah ini. Dengan anjuran dan permitaan tersebut maka telah dilakukan upaya dengan tidak merubah jalan kisah sehingga menghasilkan tulisan Novel Fajar Merah Diambang Batas menjadi 4 jilid buku sebagai berikut :
- Buku Jilid I – 309 halaman, dalam 10 Episode.
- Buku Jilid II – 325 halaman, dalam 9 Episode
- Buku Jilid III – 243 halaman, dalam 7 Episode
- Buku Jilid IV – 255 halaman, dalam 9 Episode


Tulisan Novel lain yang telah dihasilkan selama ini :

Sang Sangaji Londe (Ruma Londe)

Kisah, Mpama ro Mpemo (cerita tidur) dituturkan turun temurun di Kerajaan Kembar Mbojo dan Dompu terjadi pada tahun 1145 Masehi. Sebuah kisah putra Sangaji (Raja) Indra Sari, Putra La Pasareh menduduki singgasana Kerajaan dalam dua sebagai Sangaji (Raja) manusia sesamanya dan Sangaji (Raja) Ikan Kembung (Ruma Londe). Lukisan ketabahan, kesabaran, kejujuran dan kekuatan hati menghadapi ujian dan cobaan hidup.
Untuk mendapatkan gelar Ruma atau bangsawan, bukan karena dilahir dari orang yang bergelar Ruma atau bangsawan maka menjadi Ruma. Tapi ini semua dari tutur bahasa, perbuatan dan perilaku baik, jujur, patuh dan taat maka jadilah Ruma atau bangsawan.


La Mila yang cantik berkerabu intan

Kisah ini, sama dituturkan turun temurun lisan menunggu waktu tidur malam. Sebuah kisah pada masa Sangaji (Raja) Mbojo, Matra Indar Tarati dengan putrinya Putri Ratna Lila memperebutkan balasan kasih sayang seorang Jejaka. Perebutan dimenang sang anak, namun membawa petaka – petaka cinta.



Cinta tidak untuk dimiliki

Kisah ini, sebuah kisah dramatis penuh romantika kehidupan yang dituturkan lisan para tetua “Mpama ro mpemo masa kehidupan Sultan Bima ke XII Sultan Ibrahim “Mataho parange” dengan guru tercintanya. Kegagalan cinta menjauhkan tali kasih antara guru & murid, namun tali kasih kembali dapat tersambung bila tekanan kewajiban oleh Belanda tidak muncul yang mengancam hidup dan kehidupan diri serta negeri tercinta.


Saya mengharapkan kepada pihak-pihak pemilik modal bahkan optimis karya novel-novel sejarah lainnya dapat menjadi acuan dan sebuah wacana budaya bangsa yang sedang digali kembali sehingga bermanfaat dan berdaya guna bagi bangsa dan negara Indonesia. Apalagi dengan program dari pemerintah agar rakyat lebih mencintai budaya sendiri dari pada budaya asing. “Kita bisa lihat dari program di berbagai televisi baik sinetron, film dan musik sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Lalu bagaimana dengan kepedulian kita terhadap novel-novel sejarah, karena setiap negara pasti mempunyai sejarah masing-masing karena itu adalah sebagai pengalaman hidup”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar